Ilmu komunikasi telah mengalami perkembangan yang memerlukan
waktu cukup panjang. Bermula dari suatu keterampilan tentang persuratkabaran (Zaitungskunde di
Eropa, dan Jurnalistik di Amerika) kemudian berkembang dan berubah menjadi
suatu disiplin ilmu yang bernama ilmu komunikasi.
1. Perkembangan di Eropa.
Surhttp://komunikasi.umm.ac.id/home.php?lang=idatkabar sebagai studi ilmiah mulai menarik perhatian pada tahun 1884. studi
tentang pers muncul dengan nama Zaitungskunde di Universitas Bazel
(swiss, dan delapan tahun kemudian (1892) muncul juga di Universitas Leipzig di
Jerman. Kehadiran pengetahuan persuratkabaran ini semakin menarik perhatian
ilmuwan. Pakar sosiologi, Max Weber, pada Konggres Sosiologi (1910) mengusulkan
agar sosiologi pers dimasukkan sebagai proyek pengkajian sosiologi di samping
sosiologi organisasi. Weber pun telah meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi
pengkajian pers sebagai studi akademik. Sepuluh tahuan kemudian pakar sosiologi
lainnya, Ferdinant Tonnies, mengkaji sifat pendapat umum dalam masyarakat
massa. Dalam hubungan antara pers dan pendapat umum itulah kemudian yang
menaikkan gengsi suratkabar menjadi ilmu dengan nama Zaitungswissenschaft (ilmu
suratkabar) pada tahun 1925. dengan demikian persuartkabaran tidak tidak lagi
dipandang sebagai keterampilan belaka (Zaitungskunde), melainkan telah tumbuh
sebagai suatu disiplin ilmu.
Munculnya radio dan film pada awal abad ke-20 membuka pengkajian baru yang
lebih luas daripada suratkabar. Demikian pula dengan berkembangnya kajian
mengenai pendapat umum dan kajian retorika, semakin meluaskan disiplin ilmu
ini, sehingga tidak dapat lagi ditampung dalam olehZaitungswissenschaft. Untuk
itu pada tahun 1930 Walter Hagemann mengusulkan dan memperkenalkan nama
Publizistik sebagai suatu disiplin ilmu yang mencakup bukan saja suratkabar,
tetapi juga radio, film, retorika, dan pendapat umum. Menurut Hagemann,
Publisistik adalah ilmu tentang isi kesadaran yang umum dan aktual.
Dalam perkembangan selanjutnya Publisistik semakin mendapat pengakuan sebagai
salah-satu disiplin ilmu dalam ilmu sosial. Obyek penelitiannya bukan lagi
suratkabar melainkan offentiche aussage (pernyataan umum). Kemudian
Emil Dofivat menyebut publisistik sebagai segala upaya menggerakkan dan
membimbing tingkah laku khalayak secara rohaniah. Dengan demikian publisistik
diakui sebagai suatu kekuatan yang dapat mengendalikan tingkah-laku manusia dan
mewarnai perkembangan sejarahnya.
2. Perkembangan di Amerika.
Ilmu komunikasi massa berkembang di Amerika Serikat melalui jurnalistik.
Sebagai sutau keterampilan mengenai suratkabar, jurnalistik, sudah mulai
dikenal sejak tahun 1970. Namun sebagai pengetahuan yang diajarkan di
universitas, barulah mulai dirintis oleh Robert Leo di Washington College pada
tahun 1870. pada waktu ini jurnalistik belum mendapat penghargaan ilmuwan,
karena diajarkan hanyalah hal-hal yang bersifat teknis. Namun setelah Bleyer
memasukkan Jurnalistik sebagai minor program Ilmu Sosial di Universitas
Wisconsin tahun 1930-an, mulailah jurnalistik berkembang sebagai suatu disiplin
ilmu. Hal ini lebih berkembang lagi setelah Perang Dunia II, karena semakin
pakar dari disiplin sosiologi, politik dan psikologi yang melakukan pengkajian
berbagai aspek dari suratkabar, radio, film dan televisi. Pada masa ini para
pakar tersebut semakin merasa bahwa jurnalistik tidak lagi mampu menampung
berbagai pengkajian yang telah mereka lakukan, sehingga perlu memberi nama yang
lebih sesuai yaitu ilmu Komunikasi Massa, sehingga obyek kajiannya tidak hanya
mengenai suratkabar, melainkan mencakup juga radio, film dan televisi. Keempat
media itu disebut media massa. Tokoh-tokoh utama dalam periode ini antara lain
Harold D. Laswell, Carl I. Hovland, Paul Lazarsfeld dan Ithiel de Sola Pool.
Dasar ilmiah ilmu ini semakin kokoh, dan metodoginya semakin disempurnakan.
Perkembangan ke arah lahirnya ilmu komunikasi dimulai tahun 1950-an. Para
ilmuwan sosiologi, politik, dan komunikasi massa mengembangkan studi mengenai
pembangunan, terutama ditujukan pada negara-negara yang baru merdeka setelah
Perang Dunia II. Hal ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara tersebut
melakukan pembangunan dan perubahan berencana terutama di bidang ekonomi,
sosial dan politik. Berkembangnya studi tentang pembangunan ini seperti
sosiologi pembangunan, ekonomi pembangunan, pembangunan politik, dan komunikasi
pembangunan, menimbulkan kesadaran bagi para ilmuwan tersebut bahwa ilmu
komunikasi massa, dirasa semakin tidak mampu menampung kegiatan ini, sehingga
perlu diperluas menjadi ilmu komunikasi saja (massanya dihilangkan). Dengan
demikian kajiannya tidak hanya menyangkut media massa saja, tetapi sudah
mencakup komunikasi sosial seperti penyuluhan, ceramah dan retorika. Hal ini
lebih diperkuat lagi oleh berbagai studi yang menemukan bahwa yang lebih
berperan dalan proses perubahan dalam masyarakat terutama dalam penyebaran
gagasan baru dan teknologi baru , justru bukan media massa, melainkan komunikasi
tatap muka (persona).
Tokoh utama yang telah membawa ilmu komunikasi massa menjadi ilmu komunikasi
adalah Wilbur Schramm. Ia adalah seorang sarjana bahasa Inggris yang tertarik
kepada kajian komunikasi, karena memimpin sebuah University Press. Schramm
yang kemudian memimpin Departemen Komunikasi Massa di Universitas Iowa, dan
memimpin penelitian komunikasi di Stanford dan East West Center. Tokoh lainnya
adalah Daniel Lerner, dan Everet M. Rogers.
3. Perkembangan di Indonesia.
Kajian ilmu komunikasi di tanah air dimulai dengan nama Publisistik, dengan
dibukanya jurusab Publisistik di Fakultas Sosial dan Politik di Universitas
gajah mada pada tahun 1950. Juga di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan
Masyarakat di Universitas Indonesia pada tahun 1959. Demikian juga pada tahun
1960 di Universitas Pajajaran Bandung dibuka Fakultas Jurnalistik dan
Publisistik. Melalui proses yang panjang lahirlah Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 107/82 tahun 1982. Keppres ini membawa penyeragaman nama disiplin ilmu
ini menjadi ilmu komunikasi.
Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan
kemudian mengembangkannya di Universitas antara lain: Drs. Marbangun, Sundoro,
Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an, deretan
tokoh ini bertambah lagi dengan datangnya dua orang pakar dalam bidang kajian
ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil. Astrid S. Susdanto dari Jerman Barat (1964);
dan Dr. M. Alwi Dahlan (beliau secara langsung diajar oleh Wilbur Schramm) dari
Amerika Serikat (1967).
Obyek Kajian Ilmu Komunikasi.
Berangkat dari paparan di atas, obyek studi ilmu komunikasi dengan sendirinya
bukan hanya surat kabar (ilmu pers/jurnalistik), bukan pula hanya media massa
(ilmu komunikasi massa), atau pernyataan umum (publisistik) melainkan
komunikasi atau pernyataan antar manusia.
Harold D. Laswell (1948) dengan paradigmanya ”Who says what in which channel to
whom with what effect” menyatakan bahwa obyek kajian komunikasi berupa:
ü Analisis sumber (komunikator)
ü Analisis isi (pesan)
ü Analisis media (saluran)
ü Analisis khalayak (komunikan)
ü Analisis efek (dampak).
Lebih mendalam, Garbner (1976) dalam Studies In Mass Comunication, The
Anneberg School Of Communications, meyakini bahwa obyek kajian ilmu komunikasi
meliputi: Seseorang (komunikator dan komunikan); Persepsi; Reaksi (efek dan
efektivitas); Situasi (politik, ekonomi, dan lain-lain); Sarana (media, saluran
dan fasilitas); Material (administrasi); Bentuk (struktur, gaya dan pola);
Konteks; Isi (makna pesan); danKonsekuensi ((perubahan menyeluruh).
Kaitan dengan ilmu lainnya.
Sebelum berdiri sendiri sebagai suatu disiplin dalam kelompok sosial, maka
sesuai latar belakang sejarahnya, embrio ilmu komunikasi dipelajari sebagai
bagian dari sosiologi di Jerman dan tercakup dalam departemen bahasa Inggris di
Amerika. Sudah menjadi nasib bahwa ilmu ini dikembangkan dan diperjuangkan oleh
pakar dari disiplin lain, bahkan dasar-dasarnya sebagai kajian ilmiah dan
metodologinya berasal dari berbagai disiplin ilmu.
Sejak awal hingga kini, memang banyak ilmuwan dari berbagai disiplin telah
memberikan sumbangan kepada ilmu komunikasi. Antara lain Harold D. Lasswell
(ilmu Politik), Max Weber, Daniel Lehner, Everet M. Rogers (Sosiologi), Carl I.
Hovland, Paul Lazarsfeld (Psikologi), Wilburn Schramm (Bahasa), Shannon dan
Weaver (Matematika dan Teknik). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu dalam
membesarkan ilmu komunikasi ini dimaknai oleh Fisher (1986) bahwa ilmu
komunikasi mencakup semua dan bersifat sangat eklektif (menggabungkan berbagai
bidang).
Eklektisme dari ilmu komunikasi sebagai suatu bidang studi memang telah membawa
hikmah tersendiri, yaitu melahirkan beragam teori-teori komunikasi maupun
konsep-konsep tentang komunikasi. Fisher (1986) merangkum konsep-konsep
komunikasi dalam empat perspektif, yaitu: Mekanistis; Psikologi; Intereksional;
Pragmatis. Pengaruh konsep-konsep ilmu fisika sangat kelihatan pada perspektif
mekanistis. Kemudian pengaruh psikologi paling jelas nampak pada perspektif
psikologi yang merupakan pengembangan dari perspektif mekanistis dengan
menerapkan teori S-R (stimulus-respons). Sedangkan pengaruh sosiologi nampak
pada perspektif interaksional (bersumber dari teori interaksi simbolik) dan
perspektif pragmatis (bersumber dari teori sistem).
Lahirnya perspektif komunikasi sebagai sumbangan berbagai disiplin, tidaklah
menghabiskan hubungan ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu komunikasi
yang telah tumbuh sebagai disiplin sendiri (bersifat eklektif), tentu masih
berhak ’bekerja sama’ dengan ilmu-ilmu lainnya. Kerja sama itu kemudian
melahirkan berbagai subdisiplin seperti: komunikasi politik (dengan ilmu
politik); sosiologi komunikasi (dengan sosiologi); psikologi komunikasi (dengan
psikologi); komunikasi organisasi (dengan ilmu administrasi); komunikasi antarbudaya
(dengan antropologi); dan lain-lain
selengkapnya